Artikel-artikel populer :
Melindungi Tradisi Secara Tidak Tradisional
Bambang Sulistiyo, dan Wisnu Wage Pamungkas
Ada sebuah rumah kelir putih di Cipedes Tengah, Sarijadi, Bandung. Sederhana dan sepi. Tapi tunggu sedikit sore. Wajah-wajah muda akan datang satu demi satu, lantas membentuk kumpulan kecil. Mereka berdiskusi, meneliti; bekerja. Mengurai aneka masalah dengan pendekatan sains dan teknologi kontemporer.
Rumah bernomor 190 itu tidak dibubuhi papan nama. Namun para pemilik nama yang menghuni rumah itu diam-diam bekerja, sukarela bergiat menyosialisasikan warna-warna muda nan dinamis dalam ranah penelitian di Indonesia. Di rumah itu, Indonesian Archipelago Culture Initiatives (IACI) berkantor.
IACI adalah sub-sistem dari Bandung Fe Institute (BFI). Jauh sebelum IACI berdiri, BFI diproklamasikan pada 2002, terinspirasi oleh prakarsa Santa Fe Institute dalam memunculkan kajian kompleksitas pada kondisi tepi chaos.
Dengan pendekatan serupa, BFI hadir sebagai institusi penelitian pertama di Indonesia yang mengusung pendekatan kompleksitas dalam melihat sistem sosial di Indonesia. Dari keunikan hubungan antarmanusia, pembangunan berkelanjutan, industri, sistem pemilu, pergerakan bursa saham, pengembangan masyarakat, dan lain-lain.
Dalam perjalanannya, para peneliti BFI, seperti Hokky Situngkir, Yun Hariadi, Rendra Suroso, Deni Khanafiah (Direktur BFI), dan kawan-kawan secara resmi dan berkala menerbitkan Journal of Social Complexity. Terbitan ini berisi catatan hasil penelitian merekam sembari terus memperkenalkan akuisisi sains kontemporer dalam upaya mencari alternatif solusi atas masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
Pada 2007, di bidang budaya dan hak cipta, muncul ribut-ribut soal klaim Malaysia atas lagu Rasa Sayange dan reog Ponorogo. "Orang Indonesia marah-marah, memaki Malaysia, dan menyalahkan Pemerintah RI. Tapi (terus) ngapain?" ujar Rolan Mauludy Dahlan, seorang peneliti di BFI yang kini menjadi Ketua IACI dan Ketua Jaringan Budaya Indonesia (JBI).
Dari situ, sekumpulan anak muda yang rata-rata berusia di bawah 30 tahun merumuskan sebuah solusi. "Kami bikin inisiatif, membangun gerakan agar hal itu tidak terulang," kata Rolan. Maka, lahirlah IACI pada akhir 2007. Inisiatif ini hadir sebagai tanggapan atas kekhawatiran kian bermunculannya klaim dan potensi budaya Indonesia yang dipatenkan negara lain.
Kumpulan IACI kemudian mengeksekusi proyek Perpustakaan Digital Budaya Indonesia (PDBI) pada pertengahan 2008. Selain ditujukan sebagai upaya identifikasi dan perlindungan artefak budaya Indonesia, proyek ini juga memfasilitasi kebutuhan data awal bagi penelitian-penelitian saintifik yang dikembangkan BFI di bidang budaya.
PDBI dikemas dengan teknologi web 2.0 dan beralamat di www.budaya-indonesia.org. Situs ini melibatkan partisipasi publik dalam mengumpulkan dan mengidentifikasi data artefak seputar tarian, ornamen, arsitektur, lagu, sistem pengobatan, hingga makanan dan minuman. "Kira-kira seperti Wikipedia-nya artefak budaya Indonesia," Rolan memisalkan.
Publik bisa mengunggah data yang mereka temukan atau ketahui di lapangan. Situs itu menerima data berupa teks, gambar fotografis, materi audial, dan video. Medianya bisa lewat PC atau ponsel, dan petunjuk pengunggahan data terpapar secara jelas dalam website itu. Data yang diterima server PDBI lantas dipublikasikan di situs yang sama. Fitur penyuntingan disediakan untuk menambah atau mengoreksi data yang telah terpublikasikan.
Hingga kini, menurut Rolan, tercatat sekitar 6.000 data artefak di PDBI. Dari jumlah itu, 60 ya adalah hasil partisipasi publik. Meski sangat sedikit dibandingkan dengan potensi artefak budaya yang dimiliki negeri ini, kata Rolan, jumlah itu terasa penting sebagai basis data bagi upaya hukum melindungi artefak Indonesia.
Sebagai catatan, seiring dengan hadirnya PDBI, kelompok IACI menggagas ide penerapan hukum NCHSL (Nusantara Culture Heritage State License) dan bergerilya mengampanyekannya. Targetnya, menjadi produk perundangan di sektor HAKI guna melindungi ekspresi budaya tradisional dari eksploitasi komersial serta pencurian oleh pihak-pihak asing.
"Kami bertukar pikiran dengan beberapa pakar hukum HAKI dan melakukan sosialisasi lewat berbagai seminar," ujar Rolan kepada Sukmono Fajar Turido dari Gatra. Pada tataran itu, informasi mengenai artefak yang terhimpun di PDBI dan pengolahannya lewat riset-riset komputasional kelak dapat digunakan sebagai basis data oleh Pemerintah Indonesia dalam sengketa HAKI yang melibatkan peran Arbitrase Internasional.
Memetika dan Filomemetika
Data sudah terkumpul dan diharapkan terus bertambah. Tapi prakarsa anak-anak muda Bandung --yang terdiri dari lulusan dan mahasiswa beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Bandung-- itu tidak berhenti sampai di situ.
Data yang ada tidak dibiarkan menganggur atau pasif, melainkan ditelisik, dianalisis, dan diolah dengan teknologi komputer untuk menambah nilai dan manfaatnya. Pekerjaan yang dilakukan para peneliti BFI itu, antara lain, menggunakan pendekatan memetika.
Dalam situs www.budaya-indonesia.org, memetika dipaparkan sebagai pendekatan yang berkembang dalam tradisi Neo-Darwinian untuk memodelkan evolusi budaya berdasarkan konsep meme. Ia diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli biologi Inggris, Richard Dawkins.
Dawkins melihat, budaya tersusun atas unit-unit yang dapat mereplikasi dirinya sendiri atau meme. Dalam evolusi budaya manusia, meme ini dapat berupa ide, gaya berpakaian, tata cara ibadah, norma, dan aspek budaya lainnya. Meme terdapat dalam kepala manusia dan terefleksikan melalui artefak budaya.
Dengan strategi memetik, dapat disusun struktur pohon kekerabatan antarartefak budaya (filomemetik). Indonesia memiliki banyak variasi bahasa, motif, lagu daerah, tarian, desain rumah adat, dan lain-lain. "Pohon filomemetik adalah sebuah taksonomi hierarkis yang merepresentasikan hubungan kekerabatan antarartefak budaya," kata Rolan.
Filomemetika Motif dan Batik Fraktal
Setidaknya peneliti BFI sedang dan telah melakukan pengujian konsep pohon filomemetika itu pada tiga tipe artefak budaya Indonesia. Yakni motif kain (khususnya batik), arsitektur tradisional, dan lagu daerah.
Data yang termuat di PDBI menunjukkan --dalam skala kecil-- kekayaan motif luar biasa yang dimiliki Indonesia. Kain ulos dari Sumatera Utara, songket dari Palembang, batik dari Jawa, dan sebagainya. Konsep pohon filomemetik itu dapat digunakan untuk melihat struktur kekerabatan motif-motif yang ada di Nusantara. Kajian memetik dan filomemetik yang dilakukan para peneliti BFI terhadap motif batik memopulerkan istilah batik fraktal dalam setahun terakhir ini.
Ada dua parameter yang digunakan untuk menyusun memepleks motif batik. Pertama adalah besaran yang mengukur sensitivitas bentuk geometri motif. Yakni dengan menggunakan dimensi fraktal. Parameter kedua berkaitan dengan warna motif tersebut. Konfigurasi warna yang ada dapat disusun dalam kombinasi histogram tiga warna dasar, yakni merah, hijau, dan biru. Dari sini akan didapatkan matriks jarak, yang kemudian tervisualisasi menjadi pohon filomemetik motif.
Sebelum dua parameter itu diaplikasikan, pertama-tama dilakukan pengumpulan dan identifikasi motif pada kain-kain batik yang akan diteliti. Batik di Jawa umumnya terbagi dalam dua karakter. Yakni batik daratan, dengan ciri motif dua dimensi dan lebih banyak gambar. Lainnya, batik pesisir (antara lain batik Pekalongan dan Cirebon), yang berciri hanya memiliki satu dimensi dan didomisi oleh garis.
Lalu dimulailah parameter pertama menggunakan dimensi fraktal. Sederhananya, fraktal adalah bagian-bagian kecil yang membentuk suatu pola. Kemudian fraktal-fraktal itu digabungkan secara acak, dan ternyata tetap memiliki pola yang sama dengan komponennya. Software komputer yang digunakan untuk melakukan fraktal itu bisa Ultra Fracta, ChaosPro, MSPlotter, atau software lokal JBATIK --mudah diunduh karena merupakan opensource.
Dengan software yang befungsi mendesain pola batik itu, mula-mula gambar batik diolah dan dibuat distribusi frekuensinya. Batik itu dipindai ke komputer, di-capture satu motif, lalu di-zoom penuh. Pada motif sawat, misalnya, dengan memperbesar satu motif, akan terlihat konstruksi sawat-sawat kecil dengan pola serupa.
Kemudian dimensinya dihitung dan dibuat fraktalnya. Dari satu bentuk motif sawat saja bisa ditemukan tujuh persamaan kombinasi yang bisa membentuk satu motif sawat tertentu. "Sedangkan pada motif mega mendung ada lima persamaannya," kata Rolan, menjelaskan hasil proses yang sama terhadap motif batik asal Cirebon itu.
Hasil fraktal komputasional itu diakuisisi untuk dengan berbagai redesain atas banyak motif dasar. Sumbernya adalah motif-motif dasar batik yang di-capture dari desain tradisional asli. Dengan mengetahui persamaan matematis dasar yang menghasilkan bentuk-bentuk sawat, misalnya, maka lewat modifikasi kecil parameter-parameter atas variabel-variabel fungsi yang ada, secara komputasional dapat dimunculkan berbagai bentuk "sawat" baru yang memperkaya khazanah batik.
Lewat angka-angka hasil komputasi fraktal itu pula, dapat dihasilkan motif-motif bernilai tinggi. Selain itu, ada manfaat lainnya: motif batik tersebut tidak hanya dapat dicetak di atas lembaran kain, melainkan juga di atas banyak pilihan media.
Boleh saja Indonesia mendatangkan peranti teknologi atau fashion dari luar negeri. "Tapi, kalau laptop, chasing-nya bisa batik," Rolan menerangkan potensi batik fraktal dalam kerangka industri kreatif. Setidaknya, terdapat sekitar 500 motif batik yang diteliti BFI sejak 2005. Dengan cara ini pula, jika sebuah negara mengklaim batik sebagai paten mereka, Indonesia bisa melakukan deteksi dan memaparkan argumentasi "kepemilikan"-nya.
Filomemetika Arsitektur Tradisional
Selain batik, penelitian pohon memetika pun dilakukan pada arsitektur rumah tradisional. Untuk meneliti ini, data awal berasal dari struktur rumah-rumah tradisional dari berbagai anjungan di Taman Mini Indonesia Indah. Data struktur memepleks diperoleh dengan menjawab beberapa pertanyaan seputar variasi struktur rumah.
Antara lain pertanyaan seputar tipe rumah: panggung atau bukan? Juga tentang jenis material bangunan, bentuk bangunan, dekorasi, bagaimana bangunan itu diwarnai, eksploitasi spasial di sekitar bangunan, termasuk sejauh mana pengaruh luar memberi dampak bagi desainnya secara umum.
Proses berikutnya adalah membangun matriks jarak artefak. Untuk kasus artefak arsitektural, pembandingan memepleks antarartefak mengacu pada jarak hamming dan jarak korelasi antarartefak.
Selanjutnya, data tentang jarak artefak diteruskan ke proses pengklusteran, yang dalam kasus ini menggunakan algoritma yang dikenal sebagai UPGMA (unweighted pair group method with arithmatic mean). Pada tahap ini, "Kita telah memperoleh grup-grup artefak, untuk kemudian dikembangkan sebagai pohon kekerabatan arsitektur rumah tradisional," papar Rolan.
Desain bangunan rumah tradisional di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan diversitas yang sangat tinggi. Hasil penelusuran filomemetis untuk artefak ini adalah kenyataan bahwa rumah adat Jawa Tengah cenderung dekat dengan bentuk rumah adat Jawa Timur. Kelompok ini juga dekat dengan rumah di Jawa Barat. Tapi, "Arsitektur tradisional Yogya lebih dekat kekerabatannya dengan Bali," katanya.
Lagu Daerah dalam Proses
Sementara itu, untuk lagu tradisional, pembuatan pohon memetiknya masih dalam proses. Pada saat ini, ada sekitar 300 entri lagu tradisional dalam PDBI yang sedang "diutak-atik" secara komputasional oleh peneliti BFI. Jika pohon memetiknya sudah jadi, menurut Rolan, kasus klaim lagu Rasa Sayange akan mudah dipatahkan.
"Coba ambil lagu Rasa Sayange 'versi' Malaysia, lantas kita bandingkan dengan hasil analisis dengan lima lagu dari Maluku. Pasti kita akan bisa membuktikan kekerabatannya," tutur Rolan, yakin.
Kini riset memetika soal budaya Indonesia terus dikembangkan. Untuk itu, partisipasi publik dalam menyumbang dan memperkaya PDBI, menurut Rolan, merupakan bentuk perhatian masyarakat terhadap pelestarian dan perlindungan khanazah budaya di Indonesia dari ancaman klaim pihak-pihak luar.
Kelak mereka ingin membuat ensiklopedia budaya Indonesia. Kemungkinan kendalanya? "Tidak ada. Dana? Itu kan masalah klasik. Hampir tidak ada bentuk kendala yang dapat menyurutkan kerja-kerja budaya kami," kata Rolan meyakinkan.
Anak-anak muda itu bekerja dengan tekun dan --sebut saja-- tanpa pamrih. Kerja yang belum ditemukan kekerabatannya dengan peningkatan penghasilan dan kesejahteraan mereka. Kerja melindungi budaya dan tradisi Indonesia dengan cara-cara yang tidak tradisional.
Sumber : Gatra ()